Selasa, 10 April 2007

TUNGKU HEMAT ENERGI dari PONDIDAHA

Oleh: Munsir Salam
Infomobilizer Telecenter Lapulu Kondisi sulit terkadang
membuat orang melakukan hal-hal yang kreatif untuk tetap
survive dan untuk mengatasi persoalan. Kondisi sulit juga
menjadi peluang usaha bagi orang-orang yang jeli
melihatnya sebagai peluang. Ungkapan ini mungkin pantas
diberikan kepada warga Desa Pondidaha, Kabupaten Konawe,
Propinsi Sulawesi Tenggara.


Ide ini muncul saat saya dalam perjalanan dari Kendari ke
Konawe pada awal Agustus lalu. Di tengah perjalanan saya
mampir disebuah kawasan peristirahatan yang menyajikan
jagung rebus dan kopi hangat. Tempat ini sudah cukup
populer bagi para pengendara yang melintasi jalur Kendari
– Konawe yang berjarak kurang lebih 60 kilometer. Tempat
ini mirip seperti beberapa tempat peristirahatan yang saya
lihat di jalur tol Cipularang pada saat saya melakukan
perjalanan dari Jakarta ke Bandung beberapa waktu yang
lalu.


Kopi dan jagung rebus
Sambil meluruskan punggung dan menyelonjorkan kaki, saya
asik menikmati kopi panas dan jagung rebus yang disuguhkan
oleh gadis-gadis Pondidaha yang terkenal "manis." Tapi
yang menarik perhatian saya bukan gadis-gadisnya, tetapi
kompor yang mereka gunakan untuk merebus jagung dan
memasak air. Dari kurang lebih 40 buah warung lesehan yang
ada di kiri-kanan jalan, tidak satupun yang menggunakan
kompor minyak atau kompor moderen lainnya. Semua
menggunakan tungku masak yang terbuat dari tanah liat
dengan bahan bakar arang atau serbuk gergaji. Tungku atau
kompor ini dapat dengan mudah dilihat karena tempat makan
dan tempat masak menyatu dan terbuka. Bahkan beberapa
meletakkan tungku masak mereka dibagian depan warung
dengan panci diatasnya yang terus mengepulkan uap aroma
jagung rebus.

Rata-rata setiap warung memiliki 2 tungku. Satu untuk
memasak jagung dan satu lagi untuk menjerang air. Yang
menarik lagi adalah warna panci alumunium yang tetap
bersih, tidak hitam berarang seperti panci yang dipakai
memasak dengan menggunakan kayu bakar.


Tungku tanah liat

Tungku tanah liat berbentuk bulat melingkar seperti
silinder dengan tebal sisinya kurang lebih 5 cm. Tinggi
tungku bervariasi antara 40-45 cm dengan diameter
kira-kira 30 cm. Pada sisi bagian bawah dibuat semacam
"jendela" untuk mengeluarkan abu sisa pembakaran yang
sekaligus berfungsi sebagai "jendela oksigen". Sedangkan
untuk memasukkan arang ke dalam tungku adalah melalui
lubang di bagian atas. Bagian tengah tungku berfungsi
sebagai "ruang bakar". Pada saat memasak, lubang atas akan
tertutup oleh dasar panci. Prinsip kerjanya adalah
memfokuskan aliran panas yang dihasilkan dari pembakaran
arang ke wilayah tengah panci. Model silinder ini tentunya
efisien karena energi panas tidak akan terbuang percuma
oleh hembusan angin.

Saya ingin mencari tahu asal-muasal tungku tersebut dan
alasan mereka menggunakannya di zaman yang sudah serba
moderen ini. Saya sempat berpikir "Jangan-jangan ini
rahasia nikmatnya jagung rebus dan kopi yang disuguhkan".
Agar ada alasan untuk berlama-lama dan bisa mengorek
informasi dari pemilik warung, saya menambah segelas kopi
lagi dan lima buah jagung rebus.


Tungku hemat energi
Pemilik warung tersebut, Ibu Tetty seorang wanita yang
berusia kira-kira 25 tahun bahwa dia sebelumnya
menggunakan kompor minyak dan masyarakat pada umumnya juga
menggunakan kompor minyak. Namun, saat terjadi kenaikan
harga minyak tanah pada tahun 2004, warga sangat kesulitan
karena langkanya dan tingginya harga minyak tanah saat
itu. Hal tersebut membuat usaha warung mereka tidak
menguntungkan lagi. Untuk mensiasatinya, mereka kembali
pada kebiasaan lama yaitu menggunakan tungku yang terbuat
dari tanah liat. Ibu Tetty bercerita bahwa dahulu orang
tua-orang tua mereka menggunakan tungku tanah dengan bahan
bakar kayu untuk memasak. Tungkunya dibuat sendiri dari
tanah yang ada di Desa Pondidaha yang memang seperti tanah
liat atau tanah lempung yang berwarna merah. Namun seiring
dengan hadirnya kompor minyak yang dirasakan lebih
praktis, kebiasaan menggunakan tungku tanah liat perlahan
ditinggalkan. Tetapi sekarang ini, semua orang di desa
Pondidaha telah kembali menggunakan tungku tanah.

Memasak dengan menggunakan kompor minyak, satu rumah
tangga akan menghabiskan minimal 1 liter minyak tanah
sehari yang harga per liternya saat ini di Kendari adalah
Rp.3000,- atau setara dengan Rp. 90.000,- per bulan. Untuk
kebutuhan seperti di warung Ibu Tetty harus menggunakan
kurang lebih dari 3 liter minyak tanah perhari atau setara
dengan dengan Rp. 9.000,- per hari atau Rp. 270.000 per
bulan. Sedangkan dengan kompor tanah liat, satu karung
arang seharga Rp. 20.000. (kira-kira 20 kg) dapat
digunakan untuk memasak nonstop selama dua minggu di
warung Ibu Tetty atau setara dengan Rp. 40.000,- per
bulan. Dengan menggunakan tungku tanah liat, Ibu Tetty
dapat menghemat Rp. 230.000 per bulan,-


Pembuatan Tungku
Usaha pembuatan tungku kini banyak di kembangkan di
Pondidaha. Saya menyaksikan ribuan tungku dipajang hampir
di setiap rumah. Pemasarannya ke seluruh wilayah Sulawesi
Tenggara, bahkan telah dipasarkan sampai ke Sulawesi
Selatan dengan mengguanakan kontainer. Para penyalur dari
kota Kendari atau dari daerah lain datang langsung ke
Pondidaha. Pembuatan tungku sudah menjadi sebuah bisnis
yang menjanjikan bagi masyarakat. Mereka juga memproduksi
arang dari jenis kayu tertentu dan dipasarkan sekaligus
dengan tungku. Harga satu buah tungku di Pondidaha
berkisar antara Rp.25.000–30.000. Sedangkan arang dijual
dengan harga Rp. 20.000 per karung dengan berat kira-kira
20 kg. Di kota Kendari tungku-tungku tersebut dipasarkan
dengan harga Rp.35.000-Rp.40.000.

Menurut informasi dari Ibu Tetty, para pembuat tungku dan
pembuat arang di desa mereka saat ini dibina oleh LSM
Sintesa. Mereka dibina dari aspek permodalan, pemasaran,
kualitas produksi serta upaya penanaman kembali pohon kayu
untuk membuat arang. Karena jika pohon terus ditebang
untuk membuat arang, hutan akan menjadi gundul dan akan
menimbulkan masalah baru.

Saya masih penasaran dengan proses pembuatan tungku hemat
energi, hanya saja kopi dan jagung rebus saya sudah habis.
Untuk menambah kopi dan jangung rebus lagi, rasanya perut
saya sudah tidak muat. Tapi sebelum pamit pada Ibu Tetty
saya berjanji untuk berkunjung lagi. Ibu Tetty juga
bersedia mengantarkan saya di tempat pembuatan tungku
untuk melihat proses produksinya.

Bagian kedua tulisan ini akan menyajikan proses produksi
tungku hemat energi from Pondidaha.

http://www.ict4pr.org/sections/main/sections/infocus/tungku-hemat-energi-dari

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Custom Search